Sosiologi Eksistensi

Sosiologi Eksistensi

Eksistensialisme adalah sebuah aliran filosofi yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sarte sebagai sebuah respons terhadap apa yang dia lihat sebagai batasan-batasan di dalam fenomenologi. Eksistensialisme berbeda dari fenomenologi di dalam peran utamanya yang diberikan pada emosi, persepsi, konflik, dan absurditas, gagasan-gagasan yang akan kita kembangkan di dalam bagian ini. fenomenologi, disisi lain, berfokus pada pengalaman dan pada refleksi pada pengalaman tersebut, yang memberikan sebuah peran penting terhadap pemikiran simbolis dan kognitif. Eksistensialisme dan fenomenologi membagi sebuah perhatian dengan melihat individu-individu di dunia, daripada lepas darinya, dan maka memberikan sebuah tempat utama terhadap interaksi. Sementara terdapat perbedaan-perbedaan penting diantara dua pendekatan filosofi ini, persamaan dan kontribusi-kontribusi unik mereka telah menjadi sebuah bagian di dalam perspektif baru. Sosiologi eksistensi, sebuah perkembangan saat ini dengan sedikit pengikut, berjanji untuk membuat kontribusi-kontribusi penting terhadap pemahaman kita mengenai dunia sosial dan juga prilaku menyimpang. (Lihat Tiryakian, 1962, dan Douglas serta Johnson, 1977A).
            Wawasan dasar Sarte mengenai eksistensialisme, yang dia nyatakan adalah: ”Eksistensi sebelum esensi.” Berarti bahwa kita hidup, merasakan, menerima, dan bertindak sebelum kita memiliki pengalaman-pengalaman simbolis (esensi). Seorang bayi yang baru lahir akan merasa lapar dan meminta ASI; menetek ASI diantara mulutnya, menghisap dan menelannya. Perasaan dan persepsi tampak menjelaskan prilaku ini; yang tampaknya tidak penting untuk menunjukan bahwa bayi menganalisa (menyimbolkan) kondisinya dan merumuskan sebuah perencanaan yang akan membawa pada kepuasaannya. Sementara mencoba untuk menetek dapat dipandang sebagai prilaku instingtif, kaum ekstensialis menyatakan bahwa pola-pola persepsi dan perasaan akan membawa pada tindakan orang dewasa juga. Menurut eksistensialisme, perasaan-perasaan - secara spesifik, dorongan-dorongan dan emosi-emosi yang spesifi - adlaah faktor-faktor penentu akhir di dalam tindakan-tindakan manusia. Nilai-nilai dan keyakinan menjadi faktor-faktor penentu yang efektif di dalam tindakah hanya ketika (1) keduanya digabungkan kedalam perasaan melalui pengalaman dan (2) keduanya memberikan arahan terhadap ekspresi dari perasaan-perasaan tersebut.
            Analisis Satre mengenai anti semitisme memberikan sebuah contoh dari proses ini. Menurut Sarte, analisis ini dapat muncul dalam dua cara. Pertama, analisis ini dapat diajarkan oleh peneliti lainnya yang anti semitik, sehingga seseorang dapat membagi gagasan-gagasan mereka walaupun orang tersebut tidak memiliki pengalaman sebelumnya, negatif atau positif, dengan orang-orang Yahudi. Kedua, analisis ini dapat muncul melalui pengalaman-pengalaman negatif dengan orang-orang Yahudi dan menerima mereka sebagai sebuah ancaman. Sartre menyatakan bahwa cara pertama memunculkan perasaan yang sedikit negatif sehinggal analisis ini dapat dihilangkan oleh pengalaman-pengalaman positif langsung dengan orang-orang Yahudi. Cara kedua, disisi lain, melibatkan perasaan seseorang secara langsung. Hasil-hasil emosi yang dalam memberikan landasan-landasan untuk prilaku seseorang dalam sebuah cara tersebut yang bahkan pengalaman-pengalaman positif dengan orang-orang Yahudi tampaknya tidak memberikan pengaruh terhadap anti semitisme seseorang. Perasaan-perasaan ini akan memandu prilaku dalam sebuah cara yang pembelajaran abstrak tidak dapat melakukannya. Analisis ini menunjukan bagaimana kaum eksistensialis memberikan sebuah peran penting terhadap perasaan-perasaan sebagai sebuah penjelasan di dalam tindakan manusia.
            Kaum eksistensialis juga menyatakan konflik adalah sebuah bagian penting di dalam kehidupan individu manusia dan di dalam semua interaksi sosial. Dalam cara ini, mereka membagi banyak perhatian-perhatian dari para ahli teori konflik sosial (lihat Bab 2). Semenjak itu, bagaimanapun juga, kaum eksistensialis melihat konflik sebagai satu-satunya elemen dasar terhadap penjelasan prilaku sosial, mereka tidak dapat secara tepat disebut dengan ahli teori konflik sosial. Kaum eksistensialis sangat memperhatikan baik dengan konflik intrapersonal (di dalam orang-orang) dan konflik inter personal (diantara orang-orang).
            Sebagai sebuah contoh di dalam konflik intrapersonal, pertimbangkan aktivitas sederhana seperti pergi ke pantai. Secara umum kita mungkin memikirkan peristiwa ini tidak berkonflik, dengan mengasumsikan bahwa seseorang suka pergi ke pantai, tetapi kaum eksistensialis akan menyatakan bahwa peristiwa ini harus melibatkan beberapa konflik. Pergi ke pantai menuntut menyerahkan banyak hal yang mungkin dilakukan di dalam tempatnya. Sekalipun aktivitas-aktivitas ini kurang menyenangkan, aktivitas-aktivitas ini namun demikian memiliki beberapa nilai dan harus ditinggalkan. Selalu terdapat konflik yang mana ”anda tidak dapat meminta kue anda dan juga memakannya juga.” Terlebih lagi, terdapat beberapa ”akibat setelah ke pantai”, seperti terbakar matahari, rasa lelah, kulit yang menjadi asin, atau rambut yang basah. Jika alternatif-alternatif di dalam pergi ke pantai menarik, konflik ini akan lebih besar, tetapi bahkan tanpa alternatif-alternatif tersebut, peristiwa ini akan menimbulkan beberapa konflik.
            Sangat dapat dipahami, sosiolog eksistensial lebih memperhatikan dengan konflik interpersonal daripada dengan konflik intrapersonal. Mereka telah berfokus pada khususnya dengan sifat konflik di dalam prilaku publik, yang menarik beberapa tingkatan di dalam teori dramaturgi (dari sumber-sumber seperti buku karya Goffman yang berjudul Behavior in Public Places, 1963A) tetapi juga menambahkan sebuah dimensi publik yang hilang dalam teori tersebut. Contohnya, kebanyakan di dalam buku The Nude Beach (Douglas dan Rasmussen, 1977) dicurahkan pada mengekspos lapisan-lapisan kulit yang tergulung di dalam para turis bugil untuk menyembunyikan motif seksual dari publik yang akan dilanggar oleh prilaku tersebut. Sosiolog eksistensi menyatakan bahwa ini merupakan konflik yang menjalar di dalam kehidupan yang beradab yang membawa pada perkembangan kerja yang menjalar untuk menyembunyikan aktivitas-aktivitas yang beradab dari pandangan publik. Lingkup publik adalah dimana interaksi diantara orang-orang dari latar belakang yang berbeda adalah yang paling sering. Lingkup publik adalah lingkup yang menampilkan potensi konflik dan maka insentif yang paling banyak untuk menyembunyikan gagasan-gasasan seseorang yang tidak konsisten untuk meminimalkan konflik. Semakin masyarakat tersusun atas kelompok-kelompok heterogen atau sub budaya, semakin besar potensi konfliknya. Untuk menghindari konflik, kerja ini menjadi ekstensif (Douglas, 1971B).
            Di Amerika Serikat dan masyarakat-masyarakat Barat secara umum, pemisahan antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik sangat jelas didefinisikan dan bahkan didukung secara hukum. ”Hak atas privasi” dalam sebuah makna yang melegitimasi sebuah perbedaan diantara prilaku publik dan pribadi. Masyarakat absolut atau totalitarian berusaha untuk menghancurkan batasan-batasan diantara kehidupan publik dan kehidupan pribadi untuk mencegah perbedaan-perbedaan pribadi yang dapat menumbangkan kekuatan absolutis. Di dalam absolutis dan juga di dalam masyarakat yang homogen, front dan pribadi cenderung untuk menyatu, sementara di dalam masyarakat heterogen, keduanya cenderung dipisahkan.
            Analis eksistensial menyatakan bahwa konflik yang penting di dalam kehidupan, bahkan pada tingkat individu, membuat kontradiksi-kontradiksi kognitif dan bahkan absurditas menjadi tidak terhindarkan. Gagasan ini dikembangkan oleh Lyman dan Scott dalam bukunya yang berjudul A Sociology of the Absurd (1970). Mereka merasa bahwa istilah “sosiologi yang absurd” haruslah diterapkan pada apa yang kita sebut sebagai perspektif baru. Pernyataan ini menunjukan tempat inti di dalam pandangan-pandangan mereka dalam perspektif baru ini:

            Istilah ”absurd” menangkap asumsi dasar dari gelombang baru ini [pemikiran sosiologi]: Dunia ini pada dasarnya adalah tanpa makna. Berkebalikan bahwa sosiologi mencoba untuk menemukan makna riil dari tindakan - sebuah realitas sosiologi, seperti makna fungsional di dalam prilaku sosial - sosiologi baru ini menyatakan bahwa semua sistem keyakinan, mencakup sosiolog konvensional, adalah acak. Masalah-masalah yang sebelumnya menjadi bidang penelitian para sosiolog pada kenyataannya adalah masalah sehari-hari pada orang-orang awam. Dialah yang harus membentuk makna dalam sebuah dunia yang tidak bermakna. Pengasingan dan ketidakamanan adalah kondisi kehidupan dasar - walaupun mereka dialami secara berbeda oleh individu-individu dan kelompok-kelompok - dan rehumanisasi reguler pada setiap manusia adalah tugas setiap manusia (1970:1).

Disini perbedaan-perbedaan diantara eksistensialisme di satu sisi dan fenomenologi serta etnometodologi di sisi lainnya menjadi jelas. Semua sepakat bahwasanya manusia memberikan gambaran-gambaran rasional di dalam prilaku mereka. Kaum eksistensialis, bagaimanapun juga, melihat ke belakang gambaran-gambaran tersebut terhadap perasaan yang dianggap memotivasi mereka. Masalah yang muncul adalah filosofis, bukan empiris. Perasaan dan pemikiran tidak secara langsung tersedia bagi kita; kita hanya mengetahui apa yang orang lain ungkat dan apa yang kita acu. Apa, jika segalanya, bersandar dibalik gambaran-gambaran rasional adalah sebuah isu yang harus tetap tidak terpecahkan sampai saat ini. Tetapi kita harus ingat bahwa ahli fenomenologi dan ahli etnografi mengasumsikan ketercukupan diri di dalam gambaran-gambaran ini, dimana kaum eksistensialis mengasumsikan gambaran-gambaran tersebut dihasilkan dari perasaan-perasaan.
            Sosiologi eksistensi telah digunakan secara ekstensif di dalam sosiologi prilaku menyimpang. Beberapa analis eksistensi telah menyatakan bahwa orang-orang dapat terlibat di dalam aktivitas-aktivitas yang menyimpang melalui serangkaian langkah-langkah yang lambat dimana mereka merubah perasaan-perasaan mereka terhadap apa yang sedang mereka lakukan. Pada awalnya mereka mungkin menipu diri mereka sendiri dan yang lainnya sampai mereka mengembangkan perasaan-perasaan baru yang memungkinkan mereka untuk mengatasi dan pada akhirnya keluar dari perasaan-perasaan bersalah dan rasa malu ketika melakukan aktivitas-aktivitas yang menyimpang.
            Banyak pelacur, contohnya, memasuki profesi ini hanya setelah proses bertahap diman amreka meningkatkan ”kehidupan seks kasual” mereka, menguji respons-respons dari orang lain terhadap aktivitas-aktivitas mereka, dan menyembunyikan aktivitas mencari uang lewat seks mereka dari orang-orang yang akan mempermalukan mereka atas prilaku mereka (Rasmussen dan Kuhn, 1976). Rasa malu merupakan sebuah pendorong yang kuat yang mana semua manusia tampaknya mampu dan yang digunakan di semua masyarakat sebagai sarana yang paling efektif di dalam mencegah prilaku menyimpang. Untuk berprilaku menyimpang dihadapan rasa malu melibatkan menghindari rasa malu tersebut sampai perasaan baru dapat diciptakan yang akan meniadakannya. Mengatasi rasa malu adalah sulit, tetapi dapat dilakukan.
            Lyman dan Scott memberi contoh studi eksistensial mengenai prilaku menyimpang di dalam artikel mereka yang berjudul ”Paranoia, Homeseksualitas, Dan Teori Permainan” (di dalam Lyman dan Scott, 1970). Perhatian mereka adalah dengan apa para pelaku prilaku menyimpang memikirkan mengenai aktivitas-aktivitas mereka. Mereka menyatakan bahwasanya para pelaku menyimpang dapat memberikan sebuah sumber data yang kaya terhadap sosiolog mengenai sifat dari dunia sosial, karena para pelaku prilaku menyimpang untuk kelangsungan hidup mereka haruslah mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan mereka.
            Barangkali kontribusi yang paling penting di dalam eksistensialisme terhadap perspektif baru ini adalah sebuah pengakuan atas persepsi dan perasaan, lingkup pengalaman yang telah lama diabaikan oleh sosiolog. Hochschild (1975) dalam sebuah artikel yang berjudul ”The Sociology of Feeling and Emotion: Selected Possibilities” mencirikan pengabaian ini terhadap kondisi-kondisi berikut:

            Barangkali alasan utama dimana para sosiolog telah mengabaikan perasaan adalah bahwa, seperti juga sosiolog, kita adalah anggota-anggota di dalam masyarakat yang sama sebagai aktor-aktor dimana kita meneliti, dan kita membagi perasaan-perasaan dan nilai-nilai mereka. Masyarakat mendefinisikan kognitif, intelektual, atau rasional . . . sebagai berada diatas emosional atau sentimental. . .
            Alasan lainnya untuk sosiolog yang mengabaikan emosi dapat berupa disiplin yang berusaha untuk diakui sebagai sebuah ”ilmu riil” dan kebutuhan untuk menfokuskan pada ciri-ciri yang paling obyektif dan dapat diukur di dalam kehidupan sosial (hal. 281).

Pernyataan ini mengingatkan kita seberapa banyak hal yang belum diteliti oleh para sosiolog awal. Masing-masing bagian di dalam bab ini telah menjelaskan unsur-unsur yang telah diungkap pada kita karena kita mengasumsikan mereka daripada mengkajinya. Perspektif baru ini mengakui penyebaran gagasan-gagasan ini dan tampaknya menjadi tugas yang tanpa akhir dalam membawa mereka untuk dikaji.

Ciri-Ciri Umum Di Dalam Perspektif Baru
Beragam teori yang dibahas dalam baba ini menekankan aspek-aspek yang berbeda di dalam dunia sosial dan di dalam beberapa hal tidak sesuai satu sama lainnya, toh, kita berpikir bahwasanya mereka membagi kesamaan untuk menyusun sebuah ”perspektif baru”. Mereka membagi tiga asumsi yang diuraikan di dalam halaman pertama di dalam bab ini dan digambarkan di dalam Bab 1. Sebagai tambahan, pernyataan-pernyataan berikut akan secara umum disepakati oleh para ahli teori yang dicakup dalam bab ini:
  1. Prilaku sosial berdasarkan pada interaksi sosial - yaitu, di dalam interaksi diantara individu-individu.
  2. Makna-makna serta tindakan-tindakan sosial dibuat untuk menyesuaikan dengan situasi-situasi kongkrit.
  3. Proses umum di dalam memberi label atau definisi sosial adalah sebuah unsur penting di dalam prilaku sosial.
    1. Prilaku menyimpang adlaah sebuah penciptaan sosial.
    2. Faktor-faktor yang penting di dalam menjelaskan beberapa jenis prilaku menyimpang mencakup memberi label prilaku menyimpang sebagai prilaku yang menyimpang, penciptaan aturan-aturan sosial baru, dan aktivitas-aktivitas dari para pendukung moralitas.
  4. Manusia bertindak di dalam dunia sosial dan juga terkena tindakan darinya.
  5. Dunia sosial adalah sebuah penciptaan sosial.
  6. Manajemen impresi adalah sebuah ciri penting di dalam interaksi sosial.
  7. Gambaran orang-orang terhadap prilaku mereka adalah produk sosial mereka sendiri.
  8. Dunia sosial tidak memiliki makna intrinsik; makna yang dijamin oleh aktor-aktor sosial.
  9. Sosiologi di masa lalu adalah area-area studi yang diabaikan yang berguna untuk dipertimbangkan; kepentingan khususnya adalah aturan-aturan sosial di dalam kehidupan sehari-hari dan emosi (perasaan).
  10. Netralitas nilai adalah tujuan utama di dalam penelitian sosiologi. Ini, bagaimanapun juga, sangat sulit untuk dicapai dan kadang-kadang harus ditinggalkan untuk mencari kebenaran.
  11. Filosofi adalah penting untuk landasan teori sosiologi.

Kita telah menfrasekan pernyataan-pernyataan ini di dalam istilah-istilah umum dimana mereka mencirikan perspektif baru. Masing-masing dari teori-teori khusus yang telah kita kaji di dalam bab ini menekankan pada beberapa pernyataan-pertanyaan diatas, meminimalisir pernyataan lainnya, dan menampilkan pernyataan lain secara lebih khusus.
            Kebanyakan dari ketidaksesuaian diantara para teori-teori ini dihasilkan dari banyak ketidaksesuaian diantara teori-teori yang dihasilkan dari yang dikembangkan untuk mengatasi dengan beragam jenis prilaku menyimpang. Rumusan pertama di dalam teori pelabelan oleh Becker, contohnya, berdasarkan terutama pada studi penggunaan obat-obatan. Topik ini membahas dirinya sendiri pada sebuah penekaman di dalam undang-undang dan birokrasi yang memperkuatnya, karena di Amerika hubungan diantara penggunaan obat-obatan dan undang-undang sangat kuat. Teori eksistensial, disisi lain, telah mendasarkan teori-teorinya mengenai pelanggaran atas undang-undang pelecehan seksual, yang dibuat dan diperkuat baik melalui undang-undang dan di dalam banyak cara-cara lainnya. Studi-studi tersebut lebih sesuai untuk melihat undang-undang hanya secara parsial representatif dan untuk menfokuskan terhadap perasaan yang mendalam terhadap ancaman dan rasa takut, nafsu dan kesenangan, sebagai faktor-faktor pentign di dalam memahami pelecehan seksual.
            Perkembangan dalam beragam teori sangat berguna bagi pemahaman sosiologi. Berdasarkan pada beragam prilaku dimana di dalam beberapa tempat dan pada beberapa kesempatan dianggap menyimpang, kita juga akan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang luas dan juga fleksibel seolah-olah kita sedang memikirkan banyak bentuk dari prilaku-prilaku menyimpang.

PERSPEKTIF BARU DAN TINGKAT-TINGKAT PENJELASAN
            Kembali ke Contoh 2.1 (hal 32-33), kita dapat melihat bahwa perspektif baru tampaknya tidak masuk kedalam tingkat penjelasan apapun. Malahan, perspektif ini melihat bahwa tingkatan-tingkatan ini haruslah sesuai dengan tipe prilaku menyimpang yang dijelaskan. Sebagai sebuah perspektif sosiologi, perspektif ini membatasi analisisnya dari Tingkat II ke Tingkat V tetapi menggambarkan juga tingkatan-tingkatan lainnya serta keahlian-keahlian dari ilmu-ilmu lainnya untuk dana dan kemungkinan untuk materi-materi penjelasan yang mungkin. Namun demikian, perspektif baru dilandaskan di dalam studi dunia sosial dan juga faktor-faktor sosial yang beroperasi di dalam dunia tersebut.
            Satu kritik yang seringkali diarahkan pada teori-teori awal mengenai prilaku menyimpang adalah kritik tersebut tetap berkomitmen pada sebuah tingkat analisis tunggal bahkan ketika data mereka menunjukan kebutuhan akan perpindahan ke tingkat lainnya. Perspektif baru ini berusaha untuk tetapi fleksibel di dalam pencarian sumber-sumber penjelasannya, yang berpindah dari ciri-ciri yang paling universal di dalam dunia sosial terhadap ciri-ciri spesifik di dalam situasi-situasi dan interaksi-interaksi yang kongkrit.
            Di dalam Bagian II, ketika kita mengkaji tipe-tipe prilaku menyimpang yang berbeda dan beragam penjelasan yang ditawarkan terhadapnya, kita akan memiliki kesempatan untuk membandingkan teori-teori sebelumnya dengan perspektif baru. Kelebihan dari pendekatan multi tingkatan baru ini haruslah jelas.

MORALITAS DAN ATURAN-ATURAN DI DALAM PERSPEKTIF BARU
            Walaupun perspektif baru ditujukan terhadap netralitas nilai di dalam pengumpulan dan presentasi datanyua, nilai-nilai moral (moralitas) dan aturan-aturan yang sedang dipelajari adalah unsur-unsur yang sangat pentign di dalam data yang dikumpulkan. Semenjak, perspektif ini menampilkan masalah-masalah khusus di dalam penelitian dan analisis, kita akan membahasnya sebelum menyimpulkan presentasi kita terhadap perspektif baru.

            Kita akan memulainya dengan definisi sehari-hari:
Moralitas - kesesuaian dengan idealisme atau prinsip-prinsip aturan-aturan pada manusia.
Aturan-aturan - panduan-panduan yang ditetapkan untuk tata tertib atau tindakan.

Kita dapat mengatakan bahwa moralitas menjelaskan kepada kita apa yang harus dilakukan dan aturan-aturan menjelaskan kepada kita bagaimana untuk melakukannya. Sebuah perspektif absolutis, dan barangkali sebuah perspektif umum juga, dapat menunjukan bahwa moralitas dihasilkan dari beberapa sistem yang benar, seperti agama atau hukum alam, dan bahwa aturan-aturan untuk prilaku tersebut mengikuti moralitas di dalam sebuah cara yang langsung. Di dalam pandangan ini, moralitas mendahului aturan-aturan dan aturan-aturan mendahului tindakan. Pandangan ini mencirikan sosiologi awal dan membawa pada pandangan yang mana prilaku menyimpang hanyalah tindakan yang secara moralitas melanggar.
            Di dalam perspektif ini, prilaku menyimpang dilihat sebagai sesuatu yang kompleks. Studi-studi di dalam perspektif ini telah mengungkap baik sifat problematis dari moralitas dan juga rutinitas dari moralitas terhadap aturan-aturan pada tindakan. Perspektif absolutis tidak secara akurat menggambarkan proses-proses di dalam prilaku rutin sehari-hari.
            Konflik-konflik moral baru-baru ini telah sangat jelas di Amerika. Isu-isu moral yang penting telah dimunculkan oleh para pendukung kekuatan kaum kulit hitam, kaum hippi, emansipasi wanita, skandal Watergate, dan pergerakan kaum gay. Sangat sulit untuk mendapatkan kemufakatan publik pada apa yang dianggap benar dan pada apa yang dianggap salah. Ungkapan lama, ”Ini sejelas perbedaan antara kaum kulit hitam dan kaum kulit putih,” menjadi ungkapan yang populer saat ini. Peristiwa-peristiwa dan reaksi-reaksi ini bagi mereka dapat menjadi stimulus yang baik terhadap perkembangan gagasan-gagasan baru baik pada tingkat umum dan juga di dalam ilmu sosial. Mereka berkontribusi pada gagasan-gagasan yang menyusun perspektif baru di dalam sosiologi prilaku yang menyimpang, dimana mereka menetapkan secara jelas bahwasanya moralitas adalah situasional. Seperti yang dilihat oleh perspektif baru ini, isu-isu moral yang muncul di dalam situasi tertentu adalah problematis baik untuk partisipan dan juga untuk para peneliti. Sosiolog haruslah juga mempelajari moralitas; mereka tidak dapat hanya mengasumsikan sebuah posisi moral. Lebih jauh lagi, memahami perhatian-perhatian moral dari para partisipan adalah sebuah sumber yang berguna untuk para sosiolog dalam mencoba untuk menjelaskan prilaku.
            Perspektif baru ini juga mengakui bahwa terdapat sebuah hubungan yang penting dan juga terabaikan diantara moralitas dan prilaku yang menyimpang: mendefinisikan sesuatu sebagai prilaku yang menyimpang dapat dalam dirinya sendiri menjadi sebuah penilaian moral, dan secara umum merupakan penilaian yang negatif, yang menyatakan bahwa berprilaku menyimpang adalah salah, jahat, buruk, dan seterusnya. Sementara sosiolog di dalam perspektif baru berusaha untuk menggunakan istilah prilaku menyimpang dalam sebuah cara yang netral, tidak membuat penilaian-penilaian mengenai ”kebaikan” atau ”keburukan” dari prilaku menyimpang, mereka harus melihat kepentingan dalam mengenai orang-orang secara umum yang seringkali menggunakan istilah ini di dalam sebuah cara yang negatif.
            Contohnya, para pendukung moral, Becker mengatakan bahwa tampaknya dia yakin, sekurangnya pada beberapa tingkatan, bahwa prilaku yang mereka coba hilangkan adalah salah; ini adalah mengapa mereka disebut dengan para pendukung moral. Apakah prilaku menyimpang, bagaimanapun juga, selalu dipandang buruk? Jika anda menyebut sesuatu sebagai menyimpang, anda juga menyebut hal itu sebagai sesuatu yang buruk? Sementara orang-orang di dalam kehidupan sehari-hari dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ”Ya”, terdapat bukti yang menunjukan bahwa sosiolog harus menjawab ”Tidak”. Bukti ini terdiri dari contoh-contoh aktivitas yang tampaknya sesuai dengan definisi kita mengenai prilaku menyimpang sebagai sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai dan aturan-aturan dan toh secara publik didefinisikan sebagai baik atau tidak menyimpang.
            Everett Hughes telah menyatakan bahwa perhatian pada prilaku menyimpang yang ”buruk” telah mengaburkan eksistensi dari prilaku menyimpang yang ”baik”, yang melanggar aturan-aturan di dalam cara-cara yang positif atau yang sangat patuh terhadap aturan-aturan sehingga tidak sesuai dengan ekspektasi kita secara umum. Contoh yang Hughes adalah orang-orang suci, yang ”kebaikannya” melanggar aturan-aturan yang berlaku dari ”orang-orang kebanyakan”. Dengan mengikuti penalaran ini, kita dapat menganggap orang yang menyimpang adalah orang yang mendapat nilai ”A” di dalam ujian yang mana siswa lainnya gagal lulus ujian. Jika setiap orang gagal ujian, ujian tersebut mungkin terlalu sulit, tetapi dengan adanya siswa yang mendapat nilai ”A” dapat menyangkap penjelasan tersebut. ”Para pelanggar” seringkali dianggap menyimpang walaupun prilaku mereka mungkin bukanlah prilaku yang ”buruk”.
            Studi dari Dorothy J. Douglas mengenai para biarawati yang mengalami kelainan seksual (1969) adalah contoh lainnya. Beberapa pembaca mungkin ingin mengatakan ”apakah itu benar” atas kelainan seksual mereka karena hidup melajang, dan toh jika kita tidak memasukan makna negatif terhadap istilah ini, kita akan mendapatkan wawasan-wawasan ke dalam penelitian-penelitian di dalam dunia sosial dengan mengkaji jenis penyimpangan ini juga. Prilaku menyimpang dapat dihubungkan dengan sebuah nilai negatif di dalam penggunaan secara umum, tetapi perspektif baru ini menunjukan bahwa sosiolog tetapi membedakan antara prilaku menyimpang dengan moralitas, dengan mengakui bahwa eksistensi dari prilaku menyimpang yang positif dan negatif dan kemungkinan-kemungkinan di dalam mempelajari kedua bentuknya.
            Sebuah unsur utama di dalam perspektif baru ini adalah definisi yang luas berdasarkan pada gagasan ”aturan”. Sosiolog awal pada khususnya sangat memperhatikan aturan-aturan yang dinyatakan secara formal seperti undang-undang, tetapi perspektif baru ini diperluas untuk mencakup baik aturan-aturan yang dinyatakan secara informal, seperti yang dinyatakan oleh Wieder sebagai bagian dari ”tata tertib” (lihat contoh diatas, hal. 143), dan aturan-aturan yang eksis dengan sendirinya, aturan-aturan yang tidak dinyatakan walaupun tetap ditaati. Aturan-aturan yang eksis dengan sendirinya telah dikaji secara khusus di dalam pendekatan-pendekatan dramaturgical dan etnometodologi.
            Dua pernyataan berikut mengenai aturan-aturan, diambil dari sebuah studi mengenai aturan-aturan yang digunakan oleh Douglas (1971A), menyatakan konsep aturan-aturan ini:

Aturan-aturan sosial adalah kriteria yang mana anggota-anggota normal di dalam masyarakat diharapkan untuk membuat penggunaan (yang tulus) di dalam memutuskan apa yang harus dilakukan di dalam situasi apapun dimana mereka dianggap relevan (hal. 141).

Anggota-anggota dari masyarakat kita menggunakan aturan-aturan untuk secara memadai mencapai tujuan-tujuan mereka (hal. 221)
Kedua pernyataan berikut menunjukan bahwa aturan-aturan digunakan daripada diikuti. Perbedaan ini dapat digambarkan dengan cara dimana para siswa membuat alasan-alasan untuk menjelaskan ketidakhadirannya dari kelas.
            Berdasarkan pada situasi dimana mereka diharapkan untuk menghadiri kelas, siswa yang tidak hadir dapat dipanggil untuk ditanya alasannya. Perspektif absolutis awal dapat menunjukan bahwa terdapat alasan-alasan yang memadai untuk mereka yang tidak masuk kelas; kesemua alasan-alasan ini tidaklah memadai. Sebuah pengkajian terhadap alasan-alasan siswa menunjukan sebuah proses yang berbeda: siswa menyadari akan alasan yang masuk akal dan tidak masuk akal karena tidak masuk kelas dan membuat alasan-alasan mereka dipandang dari sudut alasan-alasan yang logis, tanpa memandang alasan-alasan yang ”riil” akan ketidakhadiran mereka. Contoh-contoh dari alasan-alasan siswa seringkali mencakup: ”Saya ketiduran,” ”Mobil saya mogok”, ”Saya sakit”, ”Saya dirawat di rumah sakit”. Pembaca dapat mencurigai, bagaimanapun juga, bahwa alasan-alasan tersebut tidak mengosongkan semua alasan yang mungkin untuk tidak masuk kelas. Alasan-alasan tersebut semuanya mencakup sebuah nilai yang ditempatkan pada kehadiran kelas dan sebuah pengakuan akan aturan yang mana seseorang harus masuk kelas sepanjang orang tersebut sehat. Tampaknya bahwa orang-orang kenyataannya tidak masuk kelas karena nilai-nilai lain diasumsikan lebih penting - ”Saya ingin menjenguk teman”, ”Saya memiliki banyak kesibukan”, ”Saya sedang membaca sebuah buku” - atau karena mereka tidak suka masuk sekolah, atau tidak memiliki alasan sama sekali - toh jenis-jenis alasan ini jarang diungkapkan oleh siswa.
            Contoh ini menunjukan bahwa aturan-aturan ini dapat digunakan dalam beragam cara, tidak hanya untuk memandu prilaku tetapi juga untuk menjelaskan prilaku dalam sebuah prilaku yang dapat diterima secara sosial walaupun tidak harus benar. Kita tidak mengatakan bahwa mereka berbohong, tetapi mereka menggunakan aturan-aturan sebagai persyaratan. Alasan-alasan siswa dapat dilihat sekurangnya sebagian disyaratkan dalam situasi-situasi dimana mereka diterapkan, sebuah cara bagi siswa untuk memenuhi persyaratan-persyaratan di dalam situasi-situasi lainnya sementara tidak membahayakan atau mengancam hubungan siswa-guru.
            Di dalam perspektif baru, aturan-aturan dipandang bukan sebagai statis tetapi sebagai dinamis dan berubah, yang digunakan oleh partisipan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan situasional. Aturan yang menggunakan dirinya sendiri adalah prilaku sosial, dan aturan-aturan itu sendiri dapat dimodifikasi di dalam proses yang sedang digunakan. Sementara gambaran-gambaran yang kita berikan dapat menunjukan bahwa tindakan-tindakan kita selalu dipandu oleh aturan-aturan dan moralitas dimana tindakan tersebut dihasilkan, studi yang rinci di dalam prilaku tersebut mengungkap proses-proses yang sangat berbeda. Sementara terdapat kesempatan-kesempatan dimana prilaku kita tampak merupakan hasil dari aturan-aturan yang kita ikuti, terdapat juga kesempatan-kesempatan dimana aturan-aturan ini tidak menjadi isu sampai setelah kita menindaklanjutinya. Ketika kita menanyakan: Mengapa saya melakukan hal itu? Kita dapat secara umum menyatakan alasan-alasan, tetapi apakah alasan-alasan tersebut kenyataannya memotivasi prilaku? Jawabannya tidak jelas, dan perspektif baru berusaha untuk mengakui eksistensi dari ambiguitas tersebut.
            Pertimbangan-pertimbangan kita di dalam bagian ini membawa kita pada sebauh ciri yang jelas tetapi seringkali tidak dikenali di dalam aturan-aturan sosial yang membedakannya dari aturan-aturan fisik: Aturan-aturan sosial dapat dilanggar. Walaupun aturan-aturan fisik tidak dapat dilanggar dan dalam makna ini adalah absolut - seseorang tidak dapat melanggar gravitasi - aturan-aturan sosial berdasarkan sifatnya dapat dilanggar. Kenyataannya, aturan-aturan sosial berdasarkan pada sifatnya dapat dan juga dilanggar. Tanda ”Dilarang berenang” dipampang disamping danau, bukan di padang pasir. Dan tanda-tanda tersebut muncul karena ekspektasi bahwa tindakan-tindakan tersebut tidak dilarang, maka akan terjadi - orang-orang akan berenang di danau. Lebih jauh lagi, eksistensi dari tanda-tanda atau aturan-aturan tersebut secara umum tidak mencegah prilaku tetapi hanya semata-mata melarangnya. Setiap orang dapat melanggar aturan tersebut. Melanggar aturan akan berakibat hukuman pada orang yang melanggarnya dan bahkan dianggap sebagai prilaku menyimpang, walaupun hasul tersebut mungkin saja, tidak terhindarkan. Seseorang dapat melanggar sebuah aturan sosial dan tidak tertangkap; para pembaca dapat memberikan contohnya sendiri disini. Apakah kemungkinan di dalam melanggar aturan-aturan sosial ini dan barangkali menjauhkannya akan membuat prilaku menyimpang menjadi sebuah ciri yang tidak terhindarkan di dalam kehidupan sosial.
            Pertanyaan mengenai asal-usul moralitas dan aturan-aturan hanya pada saat ini menjadi sebuah topik ketertarikan di dalam penelitian sosiologi yang intensif. Perspektif absolutis sebelumnya tidak memungkinkan untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan tersebut tetapi hanya mengasumsikan bahwa keduanya berasal dari agama, hukum alam, atau beberapa lingkup di dalam kebenaran absolut lainnya. Studi Becker mengenai asal-usul undang-undang ganja adalah sebuah kontribusi penting terhadap topik asal-usul. Penelitian lebih jauh diperlukan, bagaimanapun juga, khususnya di dalam area aturan-aturan non legal dan nilai-nilai yang berhubungan. Sementara proses dari perkembangan aturan-aturan non hukum serta moralitas belum dipahami secara penuh oleh para sosiolog, sumber mereka tampaknya bersandar di dalam penelitian dunia sosial dan di dalam proses-proses interaksi sosial di dalam situasi-situasi kongkrit.

Kesimpulan Untuk Bagian I
Masing-masing dari beragam tepri yang telah kita bahas di dalam Bagian I berkontribusi dengan menjelaskan beberapa jenis fenomena dan lemah atau tidak relevan dalam menjelaskan fenomena lainnya. Semya teori prilaku menyimpang yang inklusif kita harus melestarikan wawasan-wawasan dari teori-teori sebelumnya, dan barangkali beberapa darinya belum diciptakan, untuk menjelaskan fenomena keseluruhan yang dapat disebut dengan menyimpang. Kita melihat perspektif baru sebagai sebuah pergerakan yang menjanjikan di dalam perkembangan sebuah teori prilaku menyimpang secara umum. Komitmen kita, bagaimanapun juga, adalah untuk memahami prilaku menyimpang sebagai sebuah fenomena sosial, bukan pada teori spesifik. Peluang terbaik kita di dalam meningkatkan pemahaman teoritis kita mengenai prilaku menyimpang bersandar dengan terus-menerus terbuka pada dunia pengalaman, bagaimanapun juga bahwa pengalaman tersebut menggambarkan dirinya sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

TUGAS "LAPORAN PRAKTIKUM KE YOGYAKARTA"





USAHA BATIK DI JALAN MALIOBORO


1.      Deskripsi Usaha Batik Di Jalan Malioboro

            Perkembangan bisnis di Indonesia ini semakin lama semakin menonjol, hal tersebut mendorong para pengusaha muda untuk berinovasi menciptakan produk yang mampu berdaya saing dengan pasar secara global umumnya. Beberapa budaya bangsa yang kini mulai mencuat ke permukaan menjadi komoditi sebagai pengenalan budaya bagi masyarakat dunia. Dampak ditetapkannya Batik sebagai warisan budaya dunia adalah pengakuan warga dunia terhadap Indonesia akan kekayaan budaya yang dimiliki. Pada sisi lain, industri batik di tanah air juga berkembang pesat seiring banyaknya warga dunia yang menggunakan batik sebagai pakaian resmi ataupun non resmi. Tentu hal ini berdampak pula secara ekonomi bagi pedagang di sepanjang Malioboro yang memang sudah sejak lama menjadikan batik sebagai barang komoditi andalan.
            Batik saat ini mulai dijadikan lahan produksi yang utama terutama bagi masyarakat daerah sekitar Yogyakarta. Keberadaan batik menarik beberapa investor untuk ikut serta dalam menanamkan modal pada bidang usaha ini untuk mendapatkan keuntungan selain disamping pengembangan budaya daerah. Beberapa toko batik yang saya temui di Jl. Malioboro cukup mencengangkan sebab hampir seluruh jajaran pinggiran jalan terdapat banyak penjual batik baik itu yang diset di dalam gedung-gedung perbelanjaan maupun yang dijajakan di pinggiran trotoar. Pedagang-pedagang tersebut bukan hanya warga daerah Malioboro saja akan tetapi berasal dari daerah luar jawa, misalnya dari Padang.
            Dalam berbisnis tidak selalu lancar akan tetapi akan selalu ada hambatan, tergantung pengusaha tersebut menyikapi hambatan tersebut, ada yang beranggapan bahwa hambatan yang ditemuinya adalah masalah akan tetapi bagi sebagian orang hambatan yang ditemuinya adalah sebuah tantangan. Mereka yang beranggapan hambatan sebagai tantangan adalah mereka yang mempunyai semangat tinggi dalam berwirausaha, mereka adalah calon pengusaha sukses. Akan tetapi bagi mereka yang bernggapan hambatan sebagai suatu masalah maka mereka bukanlah pengusaha, sebab pengusaha adalah mereka yang mampu menanggung risiko yang ditemuinya di lapangan dalam proses berwirausaha.
            Hambata-hambatan tersebut bisa dalam beberapa bentuk diantaranya adalah hambatan emosi. Hambatan tersebut dapat mengganggu kemampuan seseorang memecahkan masalah melalui berbagai cara. Beberapa jenis hambatan kreativitas yang tergolong dalam hambatan emosi memiliki ciri takut mengambil resiko, jika dilihat secara umum para pedagang di daerah jalan Malioboro secara keseluruhan menjual batik, segala sesuatu dicirikan dengan ukiran batik. akan tetapi bagi sebagian orang yang berkunjung ke daerah tersebut akan merasa bosan apabila semua dagangan berukirkan batik. secara khusus memang batik perlu dikembangkan akan tetapi harus ada inovasi dalam mengembangkan tema batik tersebut menjadi sesuatu yang menarik. Kebanyakan orang sudah biasa menjajakan dagangan yang sifatnya sudah diketahui oleh orang banyak, jika itu adalah sebuah inovasi seharusnya setiap jenjang ada perubahan dari produk yang dijajakan, misalkan lebih kepada produk makanan yang bercirikan batik.
            Untuk menjadi kreatif, seseorang perlu belajar menghadapi ketidakpastian atau kekacauan, berarti kita harus berani berpindah dari zona nyaman ke zona baru. Pedagang di daerah malioboro harus mampu berpindah dari zona nyaman, mereka harus berani menciptakan inovasi baru untuk menarik hati para wisatawan agar ketika berkunjung yang dibenak mereka bukan hanya batik, akan tetapi budaya lain yang belum terekspos di daerah sekitar Yogyakarta sebagai warisan budaya bangsa.
            Hambatan kultural dan lingkungan senantiasa menjadi sebuah masalah bagi mereka hidup di lingkungan yang bersifat status quo. Salah satu jenis hambatan kultural yang paling umum adalah takut untuk tampil berbeda dari yang lain, atau takut mengambil tindakan/mengemukakan gagasan yang kemungkinan akan dianggap kontroversial. Ketika batik akan diekspose ke publik perlu adanya inovasi, janganlah batik hanya dianggap pakaian saja akan tetapi gunakan batik pada sesuatu yang baru. Kultur yang beranggapan demikian akan menghambat proses pemasaran. Jika memang pada saat sekarang batik menjadi komoditi utama yang diminati para wisatawan dunia, akan tetapi lambat laun yang demikian lambat laun pasti akan mulai memudar. Warga dunia akan merasa bosan dengan batik, mereka perlu sesuatu yang baru dari batik tersebut.
            Hambatan intlektual juga sering muncul dalam suatu usaha. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh sikap mental yang tidak efisien atau keengganan untuk menggunakan pendekatan baru. Hal tersebut menginfeksi para pengusaha batik di malioboro. Kecenderungan yang sangat kuat untuk mempertahankan tradisi, menggunakan metode atau cara yang dulu pernah terbukti efektif, terlalu mengandalkan logika, enggan menggunakan intuisi, dan terlalu mengandalkan statistik dan pengalaman masa lalu, sehingga gagasan-gagasan baru terlalu cepat diuji secara mental.
            Berdasarkan uraian diatas bukanlah bermaksud menghilangkan budaya batik akan tetapi berupaya mengkaji agar tercipta sesuatu yang baru yang dapat mengejutkan warga dunia dengan berbagai inovasi baru hasil karya bangsa Indonesia. Inovasi-inovasi tersebut dituangkan sebagai daya kreativitas masyarakat daerah sekitar Yogyakarta. Dengan tema batik tersebut diharapkan dapat menciptakan suatu produk yang baru yang mampu berdaya saing dengan pasar dunia.

2.      ANALISIS USAHA MNGGUNAKAN SWOT
            Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
            Analisa SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru. Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500.
            Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
1. Strengths (kekuatan)
            merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam  tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
2. Weakness (kelemahan)

            merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada.Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam  tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
3. Opportunities (peluang)

            merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.
4. Threats (ancaman)

            merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
            Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dibuat anlisis berdasarkan analisis SWOT sebagai berikut,
 a.      Kekuatan
            Usaha batik yang di jalan Malioboro telah lama dijalankan, bukan hanya itu usaha batik kini sudah mendapat banyak pengakuan dari dunia sebagai warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan. Sehingga banyak orang yang sengaja membeli batik di daerah yang memang sudah terkenal kualitas batiknya. Batik bukan lagi pakain daerah bagi sebagian masyarakat tradisional akan tetapi batik sudah menjadi trand bagi sebagian kalangan orang, di dunia sendiri batik sudah menjadi pakaian yang paling banyak diminati terkait ukiran berupa kerajianan tangan yang patut dihargai.
            Batik yang dibuat asli di Jawa Tengah memiliki perbedaan dan cirri khas tertentu sehingga tidak akan ditiru oleh pengrajin di daerah manapun sekalipun itu dari negara luar. Bagi wisatawan yang berkunjung untuk berekreasi ke Jawa Tengah terutama Borobudur tidak akan merasa puas jika tidak berbelanja batik di Malioboro. Jika pergi ke Yogyakarta tanpa datang ke Malioboro tidak akan terasa wisata belanjanya.
b.      Kelemahan
            Usaha batik yang digeluti di jalan Malioboro tidak hanya pengusaha asli Malioboro saja akan tetapi pengusaha dari luar pun ikut berdagang di Malioboro. Sehingga mayoritas pengusaha batik di malioboro berasal dari luar terutama dari daerah Padang, pengusaha dari Padang tersebut memiliki kemampuan dalam berbisnis, penguasaan pasarnya sangat baik. Hal tersebut dibuktikan dengan kebiasaan merantau ke negeri orang, sehingga kemampuan dalam mengambil risiko sangat baik. Akan tetapi bagi masyarakat Malioboro yang cenderung kurang dalam berbisnis sehingga perlu kekuatan yang lebih bagi masyarakat Malioboro dalam menarik pelanggan terutrama dalam penguasaan pasar.

c.       Peluang
Peluang bisnis yang sangat baik bagi pengusaha batik di jalan malioboro, hal tersebut didorong oleh kekuatan pasar yang sangat baik terutama batik sudah menjadi komoditi utama saat ini. Batik tidak hanya dikemas dalam bentuk pakaian saja akan tetapi batik kini dikemas dalam berbagai bantuk barang, misalnya batik dalam bentuk sandal dan berbagai bentuk barang lainnya.
d.      Ancaman




            Sejalan dengan perkembangan jaman, kebutuhan manusia akan selalu berubah seiring kebutuhan setiap perubahan tersebut. suatu saat batik memungkinkan tidak akan menjadi komoditi utama terkait dengan keinginan dari konsumen itu sendiri, sehingga perlu kesiapan dari wirausahawan dalam batik untuk melakukan inovasi dalam kemasan batik tersebut, sehingga konsumen tidak akan merasa bosan dengan batik yang dikenal sebagia warisan budaya Indonesia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

PRAKTKUM KE PENERBIT BUKU PT GRAFINDO


PROSES MENCETAK DAN MENERBITKAN BUKU

            Tanggal 9 Mei 2012 merupakan kunjungan kami ke sebuah penerbit buku di Bandung, yaitu penerbit PT Grafindo. PT Grafindo berdiri sejak 1995, awalnya hanya memproduksi buku dalam bentuk fisik akan tetapi lambat laun penerbit ini sudah menerbitkan duku dalam bentuk media. Buku yang diterbitkan oleh penerbit ini adalah
1.      Buku Umum; seperti novel, cerpen/cerita pendek, religi, dan lain sebagainya.
2.      Buku Teks atau Buku Pelajaran
3.      Buku Pelajaran (Facil), yaitu buku yang mudah digunakan (easy to use)

            Penerbitan buku adalah tempat cetak dan jual. Fungsi dari tempat penerbitan adalah untuk merumuskan dan mencari konsep buku yang akan diterbitkan, mengolah naskah, QC naskah dicetak dan mempromosikan. Dalam memproses sebuah buku tidak hanya kemampuan dalam setiap bidang yang harus diikuasai oleh seorang penerbit, akan tetapi harus memiliki kualifikasi dalam memproses sebuah buku. Oleh karena itu diperlukan SDM yang terlatih dan professional bagi para karyawannya.
            Terdapat beberapa karyawan yang terdapat di sebuah penerbit, diantaranya membidangi setiap divisi di PT Grafindo ini, diantaranya:
1.      Editor
Fungsi dari seorang editor adalah:
a.       Menyunting naskah yang akan diterbitkan
b.      Terdiri dari 60 editor dengan kualifikasi S1 dari berbagai disiplin ilmu
2.      Layouter
Fungsi dari seorang layouter adalah :
a.       Mengatur tata letak dan estetika buku
b.      Terdapat 60 layouter yang terlatih
3.      Illustrator
Fungsi dari seorang illustrator adalah :
a.       Membuat gambaran ilustrasi sesuai kebutuhan naskah
b.      Terdiri dari 4 orang illustrator
4.      Desainer
Fungsi dari desainer adalah : Merancang tampilan buku

        Dalam memprodusksi seuah buku diperlukan ketelitian yang sangat baik, sehingga buku yang dihasilkan dapat meminimalisir kecenderungan dalam kesalahan. Oleh karena itu, terdapat sebuah alur dalam menproduksi sebuah buku yang dinamakan dengan alur sebuah naskah. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai alur sebuah naskah:
1.      Rencana sebuah naskah (buku yang akan dibuat), yang dibuat oleh seorang penulis atau editorial
2.      Rapat redaksi, dilakukan untuk mendiskusikan apakah naskah tersebut cocok untuk diproses
3.      Edit naskah, dilakukan oleh seorang editor 1
4.      Setelah diedit oleh seorang editor 1, naskah diserahkan kepada layouter. Keudian setelah itu diprint
5.      Kemudian diserahkan lagi kepada editor II
6.      Dan diserahkan kembali kepada layouter, lalu diprint lagi
7.      Setelah dilakukan edit ke-2, maka diserahkan ke bagian penelaah coordinator I
8.      Setelah dilakukan penelaahan, maka dilakukan edit kembali oleh editor, lalu diserahkan kembali kepada layouter.
9.      Setelah diprint, kemudian dserahkan kepada supervisor/ penelaah II
10.  Jika naskah sudah fix untuk diterbitkan, maka naskah siap dicetak.

        Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa alur sebuah naskah sangatlah detil dan diperlukan penelaahan dan perbaikan yang sangat ketat. Oleh karena itu, dalam mencetak sebuah buku harus sesuai prosedur yang telah ditetapkan agar tidak terjadi kesalahan ketika buku dipasarkan. Sebuah buku dikatakan baik, apabila memenuhi criteria buku yang baik digunakan, yaitu disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik; memuat kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor; koheren dengan kurikulum; berkesinambungan; menarik dengan warna dan desain yang menarik; serta menginspirasi siswa.
        Alur perjalanan sebuah buku, terdiri dari : percetakan, marketing dan diginakan di masyarakat. Dalam percetakan yang sangat ketat dengan diting yang baik, jika buku tersebut sudah fix untuk cetak. Maka penerbit akan mempromosikan buku tersebut sesuai dengan bagiannya masing-masing, misalkan jika buku tersebut untuk ranah sekolah, maka buku akan dipromosikan untuk bagian sekolah. Dalam hal ini, buku sudah pada bagian marketing. Dimana penerbit menjual buku tersebut kepada masyarakat melalui bagian distributor. Jika bagian ini sudah terlewati, maka buku akan sampai kepada masyarakat untuk digunakan.
        Dalam sebuah buku yang baik, di dalam nya terdapat mutan karakter. Muatan karakter yang dimasukan dalam sebuah buku teks adalah religious, character in action, character’s comes, dan character building. Muatan karakter budaya bangsa tersebut wajib dimasukan dalam sebuah buku teks, hal tersebut dilakukan untuk menghasilan dan menginspirasi siswa dalam membaca buku. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memproduksi sebuah buku, selain dari pada naskah yang baik, maka diperlukan juga:
1.      Tampian cover yang menarik
2.      Layout full image
3.      Penyajian buku harus menarik
4.      Dan di dalamnya terdapat muatan pendidikan karakter bangsa
Ketika sebuah buku yang sudah dipasarkan terjadi kesalahan, maka akan bertanggungjawab atas hal tersebut adalah pihak menejemen atau disebut juga penerbit. Hal tersebut dapat terjadi akibat prosedur percetakan dan analisis sebuah naskah yang tidak baik. Selain daripada itu, diperlukan juga ketelitian dalam mengambil dan menentukan ilustrasi mana yang cocok digunakan sesuai dengan tingkat usia peserta didik. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (1)