Sosiologi Eksistensi
Eksistensialisme adalah sebuah aliran filosofi
yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sarte sebagai sebuah respons terhadap apa yang
dia lihat sebagai batasan-batasan di dalam fenomenologi. Eksistensialisme
berbeda dari fenomenologi di dalam peran utamanya yang diberikan pada emosi, persepsi, konflik, dan absurditas, gagasan-gagasan yang akan
kita kembangkan di dalam bagian ini. fenomenologi, disisi lain, berfokus pada
pengalaman dan pada refleksi pada pengalaman tersebut, yang memberikan sebuah
peran penting terhadap pemikiran simbolis dan kognitif. Eksistensialisme dan
fenomenologi membagi sebuah perhatian dengan melihat individu-individu di dunia, daripada lepas darinya, dan maka
memberikan sebuah tempat utama terhadap interaksi.
Sementara terdapat perbedaan-perbedaan penting diantara dua pendekatan filosofi
ini, persamaan dan kontribusi-kontribusi unik mereka telah menjadi sebuah
bagian di dalam perspektif baru. Sosiologi eksistensi, sebuah perkembangan saat
ini dengan sedikit pengikut, berjanji untuk membuat kontribusi-kontribusi
penting terhadap pemahaman kita mengenai dunia sosial dan juga prilaku
menyimpang. (Lihat Tiryakian, 1962, dan Douglas serta Johnson, 1977A).
Wawasan
dasar Sarte mengenai eksistensialisme, yang dia nyatakan adalah: ”Eksistensi
sebelum esensi.” Berarti bahwa kita hidup, merasakan, menerima, dan bertindak sebelum kita memiliki
pengalaman-pengalaman simbolis (esensi). Seorang bayi yang baru lahir akan
merasa lapar dan meminta ASI; menetek ASI diantara mulutnya, menghisap dan
menelannya. Perasaan dan persepsi tampak menjelaskan prilaku ini;
yang tampaknya tidak penting untuk menunjukan bahwa bayi menganalisa
(menyimbolkan) kondisinya dan merumuskan sebuah perencanaan yang akan membawa
pada kepuasaannya. Sementara mencoba untuk menetek dapat dipandang sebagai
prilaku instingtif, kaum ekstensialis menyatakan bahwa pola-pola persepsi dan
perasaan akan membawa pada tindakan orang dewasa juga. Menurut
eksistensialisme, perasaan-perasaan -
secara spesifik, dorongan-dorongan dan emosi-emosi yang spesifi - adlaah
faktor-faktor penentu akhir di dalam tindakan-tindakan manusia. Nilai-nilai dan
keyakinan menjadi faktor-faktor penentu yang efektif di dalam tindakah hanya
ketika (1) keduanya digabungkan kedalam perasaan melalui pengalaman dan (2)
keduanya memberikan arahan terhadap ekspresi dari perasaan-perasaan tersebut.
Analisis Satre mengenai anti semitisme memberikan
sebuah contoh dari proses ini. Menurut Sarte, analisis ini dapat muncul dalam
dua cara. Pertama, analisis ini dapat diajarkan oleh peneliti lainnya yang anti
semitik, sehingga seseorang dapat membagi gagasan-gagasan mereka walaupun orang
tersebut tidak memiliki pengalaman sebelumnya, negatif atau positif, dengan
orang-orang Yahudi. Kedua, analisis ini dapat muncul melalui
pengalaman-pengalaman negatif dengan orang-orang Yahudi dan menerima mereka
sebagai sebuah ancaman. Sartre menyatakan bahwa cara pertama memunculkan
perasaan yang sedikit negatif sehinggal analisis ini dapat dihilangkan oleh
pengalaman-pengalaman positif langsung dengan orang-orang Yahudi. Cara kedua,
disisi lain, melibatkan perasaan seseorang secara langsung. Hasil-hasil emosi
yang dalam memberikan landasan-landasan untuk prilaku seseorang dalam sebuah
cara tersebut yang bahkan pengalaman-pengalaman positif dengan orang-orang
Yahudi tampaknya tidak memberikan pengaruh terhadap anti semitisme seseorang.
Perasaan-perasaan ini akan memandu prilaku dalam sebuah cara yang pembelajaran
abstrak tidak dapat melakukannya. Analisis ini menunjukan bagaimana kaum eksistensialis
memberikan sebuah peran penting terhadap perasaan-perasaan sebagai sebuah
penjelasan di dalam tindakan manusia.
Kaum
eksistensialis juga menyatakan konflik
adalah sebuah bagian penting di dalam kehidupan individu manusia dan di dalam
semua interaksi sosial. Dalam cara ini, mereka membagi banyak
perhatian-perhatian dari para ahli teori konflik sosial (lihat Bab 2). Semenjak
itu, bagaimanapun juga, kaum eksistensialis melihat konflik sebagai satu-satunya
elemen dasar terhadap penjelasan prilaku sosial, mereka tidak dapat secara
tepat disebut dengan ahli teori konflik sosial. Kaum eksistensialis sangat
memperhatikan baik dengan konflik intrapersonal (di dalam orang-orang) dan
konflik inter personal (diantara orang-orang).
Sebagai
sebuah contoh di dalam konflik intrapersonal, pertimbangkan aktivitas sederhana
seperti pergi ke pantai. Secara umum kita mungkin memikirkan peristiwa ini
tidak berkonflik, dengan mengasumsikan bahwa seseorang suka pergi ke pantai,
tetapi kaum eksistensialis akan menyatakan bahwa peristiwa ini harus melibatkan
beberapa konflik. Pergi ke pantai menuntut menyerahkan banyak hal yang mungkin
dilakukan di dalam tempatnya. Sekalipun aktivitas-aktivitas ini kurang
menyenangkan, aktivitas-aktivitas ini namun demikian memiliki beberapa nilai
dan harus ditinggalkan. Selalu terdapat konflik yang mana ”anda tidak dapat
meminta kue anda dan juga memakannya juga.” Terlebih lagi, terdapat beberapa
”akibat setelah ke pantai”, seperti terbakar matahari, rasa lelah, kulit yang
menjadi asin, atau rambut yang basah. Jika alternatif-alternatif di dalam pergi
ke pantai menarik, konflik ini akan lebih besar, tetapi bahkan tanpa
alternatif-alternatif tersebut, peristiwa ini akan menimbulkan beberapa
konflik.
Sangat
dapat dipahami, sosiolog eksistensial lebih memperhatikan dengan konflik
interpersonal daripada dengan konflik intrapersonal. Mereka telah berfokus pada
khususnya dengan sifat konflik di dalam prilaku publik, yang menarik beberapa
tingkatan di dalam teori dramaturgi (dari sumber-sumber seperti buku karya
Goffman yang berjudul Behavior in Public
Places, 1963A) tetapi juga menambahkan sebuah dimensi publik yang hilang
dalam teori tersebut. Contohnya, kebanyakan di dalam buku The Nude Beach (Douglas dan Rasmussen, 1977) dicurahkan pada mengekspos
lapisan-lapisan kulit yang tergulung di dalam para turis bugil untuk
menyembunyikan motif seksual dari publik yang akan dilanggar oleh prilaku
tersebut. Sosiolog eksistensi menyatakan bahwa ini merupakan konflik yang menjalar di dalam kehidupan yang beradab
yang membawa pada perkembangan kerja yang menjalar untuk menyembunyikan
aktivitas-aktivitas yang beradab dari pandangan publik. Lingkup publik
adalah dimana interaksi diantara orang-orang dari latar belakang yang berbeda
adalah yang paling sering. Lingkup publik adalah lingkup yang menampilkan
potensi konflik dan maka insentif yang paling banyak untuk menyembunyikan
gagasan-gasasan seseorang yang tidak konsisten untuk meminimalkan konflik.
Semakin masyarakat tersusun atas kelompok-kelompok heterogen atau sub budaya,
semakin besar potensi konfliknya. Untuk menghindari konflik, kerja ini menjadi
ekstensif (Douglas, 1971B).
Di
Amerika Serikat dan masyarakat-masyarakat Barat secara umum, pemisahan antara
kehidupan pribadi dan kehidupan publik sangat jelas didefinisikan dan bahkan
didukung secara hukum. ”Hak atas privasi” dalam sebuah makna yang melegitimasi
sebuah perbedaan diantara prilaku publik dan pribadi. Masyarakat absolut atau
totalitarian berusaha untuk menghancurkan batasan-batasan diantara kehidupan
publik dan kehidupan pribadi untuk mencegah perbedaan-perbedaan pribadi yang
dapat menumbangkan kekuatan absolutis. Di dalam absolutis dan juga di dalam
masyarakat yang homogen, front dan pribadi cenderung untuk menyatu, sementara
di dalam masyarakat heterogen, keduanya cenderung dipisahkan.
Analis
eksistensial menyatakan bahwa konflik
yang penting di dalam kehidupan, bahkan pada tingkat individu, membuat
kontradiksi-kontradiksi kognitif dan bahkan absurditas menjadi tidak
terhindarkan. Gagasan ini dikembangkan oleh Lyman
dan Scott dalam bukunya yang berjudul A
Sociology of the Absurd (1970). Mereka merasa bahwa istilah “sosiologi yang
absurd” haruslah diterapkan pada apa yang kita sebut sebagai perspektif baru. Pernyataan ini menunjukan tempat inti di
dalam pandangan-pandangan mereka dalam perspektif baru ini:
Istilah ”absurd” menangkap asumsi dasar dari gelombang
baru ini [pemikiran sosiologi]: Dunia ini
pada dasarnya adalah tanpa makna. Berkebalikan bahwa sosiologi mencoba
untuk menemukan makna riil dari tindakan - sebuah realitas sosiologi, seperti makna fungsional di dalam prilaku sosial
- sosiologi baru ini menyatakan bahwa semua sistem keyakinan, mencakup sosiolog
konvensional, adalah acak. Masalah-masalah yang sebelumnya menjadi bidang penelitian
para sosiolog pada kenyataannya adalah masalah sehari-hari pada orang-orang
awam. Dialah yang harus membentuk makna dalam sebuah dunia yang tidak bermakna.
Pengasingan dan ketidakamanan adalah kondisi kehidupan dasar - walaupun mereka
dialami secara berbeda oleh individu-individu dan kelompok-kelompok - dan
rehumanisasi reguler pada setiap manusia adalah tugas setiap manusia (1970:1).
Disini perbedaan-perbedaan diantara eksistensialisme di satu sisi
dan fenomenologi serta etnometodologi di sisi lainnya menjadi jelas. Semua sepakat bahwasanya manusia
memberikan gambaran-gambaran rasional
di dalam prilaku mereka. Kaum eksistensialis, bagaimanapun juga, melihat ke
belakang gambaran-gambaran tersebut terhadap perasaan yang dianggap memotivasi
mereka. Masalah yang muncul adalah filosofis, bukan empiris. Perasaan dan
pemikiran tidak secara langsung tersedia bagi kita; kita hanya mengetahui apa
yang orang lain ungkat dan apa yang kita acu. Apa, jika segalanya, bersandar
dibalik gambaran-gambaran rasional adalah sebuah isu yang harus tetap tidak
terpecahkan sampai saat ini. Tetapi kita harus ingat bahwa ahli fenomenologi
dan ahli etnografi mengasumsikan
ketercukupan diri di dalam gambaran-gambaran ini, dimana kaum eksistensialis mengasumsikan gambaran-gambaran tersebut
dihasilkan dari perasaan-perasaan.
Sosiologi
eksistensi telah digunakan secara ekstensif di dalam sosiologi prilaku
menyimpang. Beberapa analis eksistensi telah menyatakan bahwa orang-orang dapat
terlibat di dalam aktivitas-aktivitas yang menyimpang melalui serangkaian
langkah-langkah yang lambat dimana mereka merubah perasaan-perasaan mereka
terhadap apa yang sedang mereka lakukan. Pada awalnya mereka mungkin menipu
diri mereka sendiri dan yang lainnya sampai mereka mengembangkan perasaan-perasaan
baru yang memungkinkan mereka untuk mengatasi dan pada akhirnya keluar dari
perasaan-perasaan bersalah dan rasa malu ketika melakukan aktivitas-aktivitas
yang menyimpang.
Banyak
pelacur, contohnya, memasuki profesi ini hanya setelah proses bertahap diman
amreka meningkatkan ”kehidupan seks kasual” mereka, menguji respons-respons
dari orang lain terhadap aktivitas-aktivitas mereka, dan menyembunyikan
aktivitas mencari uang lewat seks mereka dari orang-orang yang akan
mempermalukan mereka atas prilaku mereka (Rasmussen dan Kuhn, 1976). Rasa malu
merupakan sebuah pendorong yang kuat yang mana semua manusia tampaknya mampu
dan yang digunakan di semua masyarakat sebagai sarana yang paling efektif di
dalam mencegah prilaku menyimpang. Untuk berprilaku menyimpang dihadapan rasa
malu melibatkan menghindari rasa malu tersebut sampai perasaan baru dapat
diciptakan yang akan meniadakannya. Mengatasi rasa malu adalah sulit, tetapi
dapat dilakukan.
Lyman
dan Scott memberi contoh studi eksistensial mengenai prilaku menyimpang di
dalam artikel mereka yang berjudul ”Paranoia, Homeseksualitas, Dan Teori
Permainan” (di dalam Lyman dan Scott, 1970). Perhatian mereka adalah dengan apa
para pelaku prilaku menyimpang memikirkan mengenai aktivitas-aktivitas mereka.
Mereka menyatakan bahwasanya para pelaku menyimpang dapat memberikan sebuah
sumber data yang kaya terhadap sosiolog mengenai sifat dari dunia sosial,
karena para pelaku prilaku menyimpang untuk kelangsungan hidup mereka haruslah
mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan mereka.
Barangkali
kontribusi yang paling penting di dalam eksistensialisme terhadap perspektif
baru ini adalah sebuah pengakuan atas persepsi dan perasaan, lingkup pengalaman
yang telah lama diabaikan oleh sosiolog. Hochschild
(1975) dalam sebuah artikel yang berjudul ”The Sociology of Feeling and
Emotion: Selected Possibilities” mencirikan pengabaian ini terhadap
kondisi-kondisi berikut:
Barangkali
alasan utama dimana para sosiolog telah mengabaikan perasaan adalah bahwa,
seperti juga sosiolog, kita adalah anggota-anggota di dalam masyarakat yang
sama sebagai aktor-aktor dimana kita meneliti, dan kita membagi
perasaan-perasaan dan nilai-nilai mereka. Masyarakat mendefinisikan kognitif, intelektual,
atau rasional . . . sebagai berada diatas emosional atau sentimental. . .
Alasan lainnya untuk sosiolog yang mengabaikan emosi
dapat berupa disiplin yang berusaha untuk diakui sebagai sebuah ”ilmu riil” dan
kebutuhan untuk menfokuskan pada ciri-ciri yang paling obyektif dan dapat
diukur di dalam kehidupan sosial (hal. 281).
Pernyataan ini mengingatkan kita seberapa banyak
hal yang belum diteliti oleh para sosiolog awal. Masing-masing bagian di dalam
bab ini telah menjelaskan unsur-unsur yang telah diungkap pada kita karena kita
mengasumsikan mereka daripada mengkajinya.
Perspektif baru ini mengakui penyebaran gagasan-gagasan ini dan tampaknya
menjadi tugas yang tanpa akhir dalam membawa mereka untuk dikaji.
Ciri-Ciri Umum Di Dalam
Perspektif Baru
Beragam teori yang dibahas dalam baba ini menekankan aspek-aspek yang berbeda di
dalam dunia sosial dan di dalam beberapa hal tidak sesuai satu sama lainnya,
toh, kita berpikir bahwasanya mereka membagi kesamaan untuk menyusun sebuah
”perspektif baru”. Mereka membagi tiga asumsi yang diuraikan di dalam halaman
pertama di dalam bab ini dan digambarkan di dalam Bab 1. Sebagai tambahan,
pernyataan-pernyataan berikut akan secara umum disepakati oleh para ahli teori
yang dicakup dalam bab ini:
- Prilaku
sosial berdasarkan pada interaksi sosial - yaitu, di dalam interaksi
diantara individu-individu.
- Makna-makna
serta tindakan-tindakan sosial dibuat untuk menyesuaikan dengan
situasi-situasi kongkrit.
- Proses
umum di dalam memberi label atau definisi sosial adalah sebuah unsur
penting di dalam prilaku sosial.
- Prilaku
menyimpang adlaah sebuah penciptaan sosial.
- Faktor-faktor
yang penting di dalam menjelaskan beberapa jenis prilaku menyimpang
mencakup memberi label prilaku menyimpang sebagai prilaku yang
menyimpang, penciptaan aturan-aturan sosial baru, dan aktivitas-aktivitas
dari para pendukung moralitas.
- Manusia
bertindak di dalam dunia sosial dan juga terkena tindakan darinya.
- Dunia
sosial adalah sebuah penciptaan sosial.
- Manajemen
impresi adalah sebuah ciri penting di dalam interaksi sosial.
- Gambaran
orang-orang terhadap prilaku mereka adalah produk sosial mereka sendiri.
- Dunia
sosial tidak memiliki makna intrinsik; makna yang dijamin oleh aktor-aktor sosial.
- Sosiologi
di masa lalu adalah area-area studi yang diabaikan yang berguna untuk
dipertimbangkan; kepentingan khususnya adalah aturan-aturan sosial di
dalam kehidupan sehari-hari dan emosi (perasaan).
- Netralitas
nilai adalah tujuan utama di dalam penelitian sosiologi. Ini, bagaimanapun
juga, sangat sulit untuk dicapai dan kadang-kadang harus ditinggalkan untuk
mencari kebenaran.
- Filosofi
adalah penting untuk landasan teori sosiologi.
Kita telah menfrasekan pernyataan-pernyataan ini
di dalam istilah-istilah umum dimana mereka mencirikan perspektif baru.
Masing-masing dari teori-teori khusus yang telah kita kaji di dalam bab ini
menekankan pada beberapa pernyataan-pertanyaan diatas, meminimalisir pernyataan
lainnya, dan menampilkan pernyataan lain secara lebih khusus.
Kebanyakan
dari ketidaksesuaian diantara para teori-teori ini dihasilkan dari banyak ketidaksesuaian
diantara teori-teori yang dihasilkan dari yang dikembangkan untuk mengatasi
dengan beragam jenis prilaku menyimpang. Rumusan pertama di dalam teori
pelabelan oleh Becker, contohnya, berdasarkan terutama pada studi penggunaan
obat-obatan. Topik ini membahas dirinya sendiri pada sebuah penekaman di dalam
undang-undang dan birokrasi yang memperkuatnya, karena di Amerika hubungan
diantara penggunaan obat-obatan dan undang-undang sangat kuat. Teori
eksistensial, disisi lain, telah mendasarkan teori-teorinya mengenai
pelanggaran atas undang-undang pelecehan seksual, yang dibuat dan diperkuat
baik melalui undang-undang dan di dalam banyak cara-cara lainnya. Studi-studi
tersebut lebih sesuai untuk melihat undang-undang hanya secara parsial
representatif dan untuk menfokuskan terhadap perasaan yang mendalam terhadap
ancaman dan rasa takut, nafsu dan kesenangan, sebagai faktor-faktor pentign di
dalam memahami pelecehan seksual.
Perkembangan
dalam beragam teori sangat berguna bagi pemahaman sosiologi. Berdasarkan pada
beragam prilaku dimana di dalam beberapa tempat dan pada beberapa kesempatan
dianggap menyimpang, kita juga akan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang luas
dan juga fleksibel seolah-olah kita sedang memikirkan banyak bentuk dari
prilaku-prilaku menyimpang.
PERSPEKTIF
BARU DAN TINGKAT-TINGKAT PENJELASAN
Kembali
ke Contoh 2.1 (hal 32-33), kita dapat melihat bahwa perspektif baru tampaknya
tidak masuk kedalam tingkat penjelasan apapun. Malahan, perspektif ini melihat bahwa tingkatan-tingkatan ini
haruslah sesuai dengan tipe prilaku menyimpang yang dijelaskan. Sebagai
sebuah perspektif sosiologi, perspektif ini membatasi analisisnya dari Tingkat
II ke Tingkat V tetapi menggambarkan juga tingkatan-tingkatan lainnya serta
keahlian-keahlian dari ilmu-ilmu lainnya untuk dana dan kemungkinan untuk
materi-materi penjelasan yang mungkin. Namun demikian, perspektif baru
dilandaskan di dalam studi dunia sosial
dan juga faktor-faktor sosial yang beroperasi di dalam dunia tersebut.
Satu
kritik yang seringkali diarahkan pada teori-teori awal mengenai prilaku
menyimpang adalah kritik tersebut tetap berkomitmen pada sebuah tingkat
analisis tunggal bahkan ketika data mereka menunjukan kebutuhan akan
perpindahan ke tingkat lainnya. Perspektif baru ini berusaha untuk tetapi
fleksibel di dalam pencarian sumber-sumber penjelasannya, yang berpindah dari
ciri-ciri yang paling universal di dalam dunia sosial terhadap ciri-ciri
spesifik di dalam situasi-situasi dan interaksi-interaksi yang kongkrit.
Di
dalam Bagian II, ketika kita mengkaji tipe-tipe prilaku menyimpang yang berbeda
dan beragam penjelasan yang ditawarkan terhadapnya, kita akan memiliki
kesempatan untuk membandingkan teori-teori sebelumnya dengan perspektif baru.
Kelebihan dari pendekatan multi tingkatan baru ini haruslah jelas.
MORALITAS DAN
ATURAN-ATURAN DI DALAM PERSPEKTIF BARU
Walaupun
perspektif baru ditujukan terhadap netralitas nilai di dalam pengumpulan dan
presentasi datanyua, nilai-nilai moral (moralitas) dan aturan-aturan yang
sedang dipelajari adalah unsur-unsur yang sangat pentign di dalam data yang
dikumpulkan. Semenjak, perspektif ini menampilkan masalah-masalah khusus di
dalam penelitian dan analisis, kita akan membahasnya sebelum menyimpulkan
presentasi kita terhadap perspektif baru.
Kita
akan memulainya dengan definisi sehari-hari:
Moralitas -
kesesuaian dengan idealisme atau prinsip-prinsip aturan-aturan pada manusia.
Aturan-aturan -
panduan-panduan yang ditetapkan untuk tata tertib atau tindakan.
Kita dapat mengatakan bahwa moralitas menjelaskan
kepada kita apa yang harus dilakukan dan aturan-aturan menjelaskan kepada kita
bagaimana untuk melakukannya. Sebuah perspektif absolutis, dan barangkali
sebuah perspektif umum juga, dapat menunjukan bahwa moralitas dihasilkan dari
beberapa sistem yang benar, seperti agama atau hukum alam, dan bahwa
aturan-aturan untuk prilaku tersebut mengikuti moralitas di dalam sebuah cara
yang langsung. Di dalam pandangan ini, moralitas mendahului aturan-aturan dan
aturan-aturan mendahului tindakan. Pandangan ini mencirikan sosiologi awal dan
membawa pada pandangan yang mana prilaku menyimpang hanyalah tindakan yang
secara moralitas melanggar.
Di
dalam perspektif ini, prilaku menyimpang dilihat sebagai sesuatu yang kompleks.
Studi-studi di dalam perspektif ini telah mengungkap baik sifat problematis
dari moralitas dan juga rutinitas dari moralitas terhadap aturan-aturan pada
tindakan. Perspektif absolutis tidak secara akurat menggambarkan proses-proses
di dalam prilaku rutin sehari-hari.
Konflik-konflik
moral baru-baru ini telah sangat jelas di Amerika. Isu-isu moral yang penting
telah dimunculkan oleh para pendukung kekuatan kaum kulit hitam, kaum hippi,
emansipasi wanita, skandal Watergate, dan pergerakan kaum gay. Sangat sulit
untuk mendapatkan kemufakatan publik pada apa yang dianggap benar dan pada apa
yang dianggap salah. Ungkapan lama, ”Ini sejelas perbedaan antara kaum kulit
hitam dan kaum kulit putih,” menjadi ungkapan yang populer saat ini.
Peristiwa-peristiwa dan reaksi-reaksi ini bagi mereka dapat menjadi stimulus
yang baik terhadap perkembangan gagasan-gagasan baru baik pada tingkat umum dan
juga di dalam ilmu sosial. Mereka berkontribusi pada gagasan-gagasan yang
menyusun perspektif baru di dalam sosiologi prilaku yang menyimpang, dimana
mereka menetapkan secara jelas bahwasanya moralitas
adalah situasional. Seperti yang dilihat oleh perspektif baru ini, isu-isu
moral yang muncul di dalam situasi tertentu adalah problematis baik untuk
partisipan dan juga untuk para peneliti. Sosiolog haruslah juga mempelajari
moralitas; mereka tidak dapat hanya mengasumsikan sebuah posisi moral. Lebih
jauh lagi, memahami perhatian-perhatian moral dari para partisipan adalah
sebuah sumber yang berguna untuk para sosiolog dalam mencoba untuk menjelaskan
prilaku.
Perspektif
baru ini juga mengakui bahwa terdapat sebuah hubungan yang penting dan juga
terabaikan diantara moralitas dan prilaku yang menyimpang: mendefinisikan
sesuatu sebagai prilaku yang menyimpang dapat dalam dirinya sendiri menjadi
sebuah penilaian moral, dan secara umum merupakan penilaian yang negatif, yang
menyatakan bahwa berprilaku menyimpang adalah salah, jahat, buruk, dan
seterusnya. Sementara sosiolog di dalam perspektif baru berusaha untuk
menggunakan istilah prilaku menyimpang dalam sebuah cara yang netral, tidak
membuat penilaian-penilaian mengenai ”kebaikan” atau ”keburukan” dari prilaku
menyimpang, mereka harus melihat kepentingan dalam mengenai orang-orang secara
umum yang seringkali menggunakan istilah ini di dalam sebuah cara yang negatif.
Contohnya,
para pendukung moral, Becker mengatakan bahwa tampaknya dia yakin, sekurangnya
pada beberapa tingkatan, bahwa prilaku yang mereka coba hilangkan adalah salah;
ini adalah mengapa mereka disebut dengan para pendukung moral. Apakah prilaku menyimpang, bagaimanapun juga, selalu
dipandang buruk? Jika anda menyebut sesuatu sebagai menyimpang, anda juga
menyebut hal itu sebagai sesuatu yang buruk? Sementara orang-orang di dalam
kehidupan sehari-hari dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ”Ya”, terdapat bukti
yang menunjukan bahwa sosiolog harus menjawab ”Tidak”. Bukti ini terdiri dari
contoh-contoh aktivitas yang tampaknya sesuai dengan definisi kita mengenai
prilaku menyimpang sebagai sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai dan
aturan-aturan dan toh secara publik didefinisikan sebagai baik atau tidak
menyimpang.
Everett
Hughes telah menyatakan bahwa perhatian pada prilaku menyimpang yang ”buruk”
telah mengaburkan eksistensi dari prilaku menyimpang yang ”baik”, yang
melanggar aturan-aturan di dalam cara-cara yang positif atau yang sangat patuh
terhadap aturan-aturan sehingga tidak sesuai dengan ekspektasi kita secara
umum. Contoh yang Hughes adalah orang-orang suci, yang ”kebaikannya” melanggar
aturan-aturan yang berlaku dari ”orang-orang kebanyakan”. Dengan mengikuti
penalaran ini, kita dapat menganggap orang yang menyimpang adalah orang yang
mendapat nilai ”A” di dalam ujian yang mana siswa lainnya gagal lulus ujian.
Jika setiap orang gagal ujian, ujian tersebut mungkin terlalu sulit, tetapi
dengan adanya siswa yang mendapat nilai ”A” dapat menyangkap penjelasan
tersebut. ”Para pelanggar” seringkali dianggap menyimpang walaupun prilaku
mereka mungkin bukanlah prilaku yang ”buruk”.
Studi
dari Dorothy J. Douglas mengenai para biarawati yang mengalami kelainan seksual
(1969) adalah contoh lainnya. Beberapa pembaca mungkin ingin mengatakan ”apakah
itu benar” atas kelainan seksual mereka karena hidup melajang, dan toh jika
kita tidak memasukan makna negatif terhadap istilah ini, kita akan mendapatkan
wawasan-wawasan ke dalam penelitian-penelitian di dalam dunia sosial dengan
mengkaji jenis penyimpangan ini juga. Prilaku menyimpang dapat dihubungkan
dengan sebuah nilai negatif di dalam penggunaan secara umum, tetapi perspektif
baru ini menunjukan bahwa sosiolog tetapi membedakan antara prilaku menyimpang
dengan moralitas, dengan mengakui bahwa eksistensi dari prilaku menyimpang yang
positif dan negatif dan kemungkinan-kemungkinan di dalam mempelajari kedua
bentuknya.
Sebuah
unsur utama di dalam perspektif baru ini adalah definisi yang luas berdasarkan
pada gagasan ”aturan”. Sosiolog awal pada khususnya sangat memperhatikan
aturan-aturan yang dinyatakan secara formal seperti undang-undang, tetapi
perspektif baru ini diperluas untuk mencakup baik aturan-aturan yang dinyatakan
secara informal, seperti yang dinyatakan oleh Wieder sebagai bagian dari ”tata
tertib” (lihat contoh diatas, hal. 143), dan aturan-aturan yang eksis dengan
sendirinya, aturan-aturan yang tidak dinyatakan walaupun tetap ditaati.
Aturan-aturan yang eksis dengan sendirinya telah dikaji secara khusus di dalam
pendekatan-pendekatan dramaturgical dan etnometodologi.
Dua
pernyataan berikut mengenai aturan-aturan, diambil dari sebuah studi mengenai
aturan-aturan yang digunakan oleh Douglas (1971A), menyatakan konsep
aturan-aturan ini:
Aturan-aturan sosial adalah kriteria yang mana anggota-anggota normal di
dalam masyarakat diharapkan untuk membuat penggunaan (yang tulus) di dalam
memutuskan apa yang harus dilakukan di dalam situasi apapun dimana mereka dianggap
relevan (hal. 141).
Anggota-anggota dari masyarakat kita menggunakan aturan-aturan untuk secara
memadai mencapai tujuan-tujuan mereka (hal. 221)
Kedua pernyataan berikut menunjukan bahwa
aturan-aturan digunakan daripada diikuti. Perbedaan ini dapat digambarkan dengan cara dimana
para siswa membuat alasan-alasan untuk menjelaskan ketidakhadirannya dari
kelas.
Berdasarkan
pada situasi dimana mereka diharapkan untuk menghadiri kelas, siswa yang tidak
hadir dapat dipanggil untuk ditanya alasannya. Perspektif absolutis awal dapat
menunjukan bahwa terdapat alasan-alasan yang memadai untuk mereka yang tidak
masuk kelas; kesemua alasan-alasan ini tidaklah memadai. Sebuah pengkajian
terhadap alasan-alasan siswa menunjukan sebuah proses yang berbeda: siswa menyadari
akan alasan yang masuk akal dan tidak masuk akal karena tidak masuk kelas dan
membuat alasan-alasan mereka dipandang dari sudut alasan-alasan yang logis, tanpa memandang alasan-alasan yang ”riil”
akan ketidakhadiran mereka. Contoh-contoh dari alasan-alasan siswa
seringkali mencakup: ”Saya ketiduran,” ”Mobil saya mogok”, ”Saya sakit”, ”Saya
dirawat di rumah sakit”. Pembaca dapat mencurigai, bagaimanapun juga, bahwa
alasan-alasan tersebut tidak mengosongkan semua alasan yang mungkin untuk tidak
masuk kelas. Alasan-alasan tersebut semuanya mencakup sebuah nilai yang
ditempatkan pada kehadiran kelas dan sebuah pengakuan akan aturan yang mana
seseorang harus masuk kelas sepanjang orang tersebut sehat. Tampaknya bahwa
orang-orang kenyataannya tidak masuk kelas karena nilai-nilai lain diasumsikan
lebih penting - ”Saya ingin menjenguk teman”, ”Saya memiliki banyak kesibukan”,
”Saya sedang membaca sebuah buku” - atau karena mereka tidak suka masuk
sekolah, atau tidak memiliki alasan sama sekali - toh jenis-jenis alasan ini
jarang diungkapkan oleh siswa.
Contoh
ini menunjukan bahwa aturan-aturan ini dapat digunakan dalam beragam cara,
tidak hanya untuk memandu prilaku tetapi juga untuk menjelaskan prilaku dalam
sebuah prilaku yang dapat diterima secara sosial walaupun tidak harus benar.
Kita tidak mengatakan bahwa mereka berbohong, tetapi mereka menggunakan aturan-aturan sebagai persyaratan.
Alasan-alasan siswa dapat dilihat sekurangnya sebagian disyaratkan dalam
situasi-situasi dimana mereka diterapkan, sebuah cara bagi siswa untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan di dalam situasi-situasi lainnya sementara tidak
membahayakan atau mengancam hubungan siswa-guru.
Di
dalam perspektif baru, aturan-aturan dipandang bukan sebagai statis tetapi
sebagai dinamis dan berubah, yang digunakan oleh partisipan untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan situasional. Aturan yang menggunakan dirinya sendiri
adalah prilaku sosial, dan aturan-aturan itu sendiri dapat dimodifikasi di
dalam proses yang sedang digunakan. Sementara gambaran-gambaran yang kita berikan dapat menunjukan bahwa
tindakan-tindakan kita selalu dipandu oleh aturan-aturan dan moralitas dimana
tindakan tersebut dihasilkan, studi yang rinci di dalam prilaku tersebut
mengungkap proses-proses yang sangat berbeda. Sementara terdapat
kesempatan-kesempatan dimana prilaku kita tampak merupakan hasil dari
aturan-aturan yang kita ikuti, terdapat juga kesempatan-kesempatan dimana
aturan-aturan ini tidak menjadi isu sampai setelah kita menindaklanjutinya.
Ketika kita menanyakan: Mengapa saya melakukan hal itu? Kita dapat secara umum
menyatakan alasan-alasan, tetapi apakah alasan-alasan tersebut kenyataannya
memotivasi prilaku? Jawabannya tidak jelas, dan perspektif baru berusaha untuk
mengakui eksistensi dari ambiguitas tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan
kita di dalam bagian ini membawa kita pada sebauh ciri yang jelas tetapi
seringkali tidak dikenali di dalam aturan-aturan sosial yang membedakannya dari
aturan-aturan fisik: Aturan-aturan sosial
dapat dilanggar. Walaupun aturan-aturan fisik tidak dapat dilanggar dan
dalam makna ini adalah absolut - seseorang tidak dapat melanggar gravitasi -
aturan-aturan sosial berdasarkan sifatnya dapat dilanggar. Kenyataannya,
aturan-aturan sosial berdasarkan pada sifatnya dapat dan juga dilanggar. Tanda
”Dilarang berenang” dipampang disamping danau, bukan di padang pasir. Dan tanda-tanda
tersebut muncul karena ekspektasi bahwa tindakan-tindakan tersebut tidak
dilarang, maka akan terjadi - orang-orang akan berenang di danau. Lebih jauh
lagi, eksistensi dari tanda-tanda atau aturan-aturan tersebut secara umum tidak
mencegah prilaku tetapi hanya semata-mata melarangnya. Setiap orang dapat
melanggar aturan tersebut. Melanggar aturan akan berakibat hukuman pada orang
yang melanggarnya dan bahkan dianggap sebagai prilaku menyimpang, walaupun
hasul tersebut mungkin saja, tidak terhindarkan. Seseorang dapat melanggar
sebuah aturan sosial dan tidak tertangkap; para pembaca dapat memberikan
contohnya sendiri disini. Apakah kemungkinan di dalam melanggar aturan-aturan
sosial ini dan barangkali menjauhkannya akan membuat prilaku menyimpang menjadi
sebuah ciri yang tidak terhindarkan di dalam kehidupan sosial.
Pertanyaan
mengenai asal-usul moralitas dan aturan-aturan hanya pada saat ini menjadi
sebuah topik ketertarikan di dalam penelitian sosiologi yang intensif.
Perspektif absolutis sebelumnya tidak memungkinkan untuk memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tersebut tetapi hanya mengasumsikan bahwa keduanya
berasal dari agama, hukum alam, atau beberapa lingkup di dalam kebenaran
absolut lainnya. Studi Becker mengenai asal-usul undang-undang ganja adalah
sebuah kontribusi penting terhadap topik asal-usul. Penelitian lebih jauh
diperlukan, bagaimanapun juga, khususnya di dalam area aturan-aturan non legal
dan nilai-nilai yang berhubungan. Sementara proses dari perkembangan
aturan-aturan non hukum serta moralitas belum dipahami secara penuh oleh para
sosiolog, sumber mereka tampaknya bersandar di dalam penelitian dunia sosial
dan di dalam proses-proses interaksi sosial di dalam situasi-situasi kongkrit.
Kesimpulan Untuk Bagian I
Masing-masing dari beragam tepri yang telah kita
bahas di dalam Bagian I berkontribusi dengan menjelaskan beberapa jenis
fenomena dan lemah atau tidak relevan dalam menjelaskan fenomena lainnya. Semya
teori prilaku menyimpang yang inklusif kita harus melestarikan wawasan-wawasan
dari teori-teori sebelumnya, dan barangkali beberapa darinya belum diciptakan,
untuk menjelaskan fenomena keseluruhan yang dapat disebut dengan menyimpang.
Kita melihat perspektif baru sebagai sebuah pergerakan yang menjanjikan di
dalam perkembangan sebuah teori prilaku menyimpang secara umum. Komitmen kita,
bagaimanapun juga, adalah untuk memahami
prilaku menyimpang sebagai sebuah fenomena sosial, bukan pada teori spesifik.
Peluang terbaik kita di dalam meningkatkan pemahaman teoritis kita mengenai
prilaku menyimpang bersandar dengan terus-menerus terbuka pada dunia
pengalaman, bagaimanapun juga bahwa pengalaman tersebut menggambarkan dirinya
sendiri.
Read Users' Comments (0)